Picture
Entah apa yang membuat saya akhir-akhir ini merasa nyaman untuk diam membatu di workshop dan enggan pulang ke rumah, sudah sekitar 4 minggu sampai saat ini saya memutuskan untuk menulis sesuatu yang sebenarnya tidak penting. Selama itu pula saya hanya mondar-mandir ditengah proses produksi yang terus berjalan setiap hari, memperhatikan operator yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. A Ocha mendapat bagiannya untuk cutting kain cotton combed yang telah ditunggu Tantan dan Mas Jawa untuk dikawinkan secara paksa dengan rackel, screen dan ramuan cat sablon yang dirakitnya sehingga menghasilkan sebuah komposisi warna yang sesuai dengan print out desain yang lebih dulu terlahir dari mesin cetak. Dan ketika baru saja selesai cutting bahan D300 Soft dan gulungan besar Polyfoam untuk produksi sekitar 350pcs tas seminar pesanan salah satu klien dari luar kota,

A Ocha yang berdarah Makasar  terdengar mengeluh waktu itu..“aduh ieu cangkéng meni nyeri pisan euy!” Meskipun menggunakan Basa Sunda, logat bahasa dari setiap baris kata yang dilontarkan A Ocha sangatlah kental, dan terdengar tidak jauh berbeda dengan logat Batak. A Obet dan Tito terlihat tersenyum sebelum akhirnya tertawa ketika mendengar keluhan A Ocha yang sakit pinggang setelah beberapa hari berkutat dengan master pola, pulpen, D300, polyfoam, penggaris, gunting, cutter dan mesin cutting. Di hari selanjutnya, saya dan Rafis sedikit disibukan dengan klien yang datang silih berganti ke workshop sederhana yang berlokasi di Gang Beurit. Saya sempat keluar dan kembali ke workshop sekitar jam 7 malam waktu itu, ternyata saya sudah ditunggu oleh klien dari Jakarta yang datang dengan pasangannya. Kopi hitam saya seduh, roko yang beberapa jam bersemedi di dalam saku celana saya bakar dengan korek yang tertidur lemas disamping mesin jahit, sebelum akhirnya saya membuka obrolan ringan seputar tetek-bengek kaos, sablon dan tas dengan klien. Kopi  hitam duduk manis didalam cangkir, menunggu untuk saya nikmati, tapi nasib secangkir kopi hitam itu jauh berbeda dengan cangkir-cangkir kopi lainnya yang berhasil mendarat mulus setelah menyusuri tenggorokan untuk menghangatkan badan dan menambah nikmatnya kepulan asap dari roko yang saya hisap. Goodie Bag yang tadinya hendak saya tunjukan kepada klien, dengan tenangnya menjegal cangkir kopi hitam yang sedang menunggu gilirannya untuk saya nikmati, sebelumnya cangkir kopi itu asyik mendengarkan pembicaraan kami dari atas meja PC yang speakernya sedang memainkan lagu-lagu Club 8 secara perlahan. Goodie Bag brengsek itu dapat menggantung kembali dengan tenang diatas dinding bercat hijau yang sedikit kusam setelah menjegal secangkir kopi dan menumpahkannya keatas laptop saya yang sedang beroperasi, goodie bag itu sangat beruntung karena sedang berada di workshop, sehingga tidak diberi kartu merah karena telah melakukan pelanggaran keras terhadap cangkir kopi, dan tidak diusir dari lapangan oleh wasit yang memimpin jalannya pertandingan. Saya sangat panik ketika menyadari bahwa saat itu laptop telah menjadi lautan kopi hideung setelah cangkir yang ditendang goodie bag itu terjun bebas dari atas meja dan menumpahkan seluruh muatannya ke arah monitor dan keyboard, saya hanya bisa terdiam dan berharap cemas semoga data-data penting didalamnya dapat diselamatkan.

Hujan lebat yang sangat panjang, panas yang menyengat, angin besar, hingga dinginnya udara setiap malam. Cuaca di Bandung saat ini memang tidak menentu, seperti masuknya order yang lup-lep seperti lého a.k.a umbel. Setiap sore hari menjelang, selalu terdengar suara ibu-ibu yang menjajakan dagangannya dengan berjalan melewati workshop.. “Pastel pasteeeeeeeeeeell.” Ibu-ibu yang ternyata adalah saudara A Obet selalu menyempatkan diri untuk singgah.. “Sok atuh jarajan heula meungpeung haneut kénéh yeuh!” Begitulah seruannya ketika merayu kita yang sedang sibuk dalam proses produksi untuk membeli barang dagangannya. Saya selalu berteriak setiap Ibu itu datang, “A Obet ganteeeeeeeeeng.”dengan nada yang sama seperti ibu itu ketika bicara“Pastel pasteeeeeeeeeeell.” A Obet hanya tertawa dan kembali menjawab teriakan saya..”Hidup Persib!” dengan nada yang sama juga tentunya. Hampir setiap hari,  A Obet, A Ocha, Rafis a.k.a Zein dan saya bermalam di workshop, meskipun hanya beralaskan polyfoam dan cotton combed yang belum sempat masuk proses produksi dan selamat dari tajamnya mesin cutting. Terkadang A  Ocha pulang ke rumah dan kembali pada pagi hari dengan kedua anak gadisnya yang berumur 8 dan 2 Tahun, kedua anak gadisnya tampak sibuk bermain-main dengan sisa potongan kain sambil bernyanyi “cicak-cicak di dinding”, sedangkan ibu mereka sibuk beres-beres dan mencuci pakaian dirumah. Rafis pun sama, tidak setiap hari dia bermalam di workshop, karena istri dan bayi laki-lakinya menunggu di rumah.

Dengan alasan menjaga barang-barang biar ga kecolongan dan digondol garong, Hanya A Obet yang hampir setiap hari tidak pernah meninggalkan workshop, diam membatu diatas mesin jahit dengan jarum no .21 sebagai senjatanya. Setiap pagi dan siang A Obet selalu menyempatkan diri untuk pulang karena letak rumahnya yang cukup berdekatan dengan workshop, atau keluar sejenak pada sore hari untuk mengantar anaknya ke tempat pengajian dan kembali menjemput anaknya menjelang maghrib, berhenti di warung samping workshop untuk membeli jajanan sebelum akhirnya pulang kerumah dengan wajah yang selalu tersenyum sambil menuntun tangan anak laki-laki yang menggunakan baju koko berwarna biru dan selalu terlihat malu atau takut ketika melihat penampakan saya yang tidak jauh berbeda dengan Siluman Kelelawar. Kehidupan A Obet yang mungkin terkesan biasa saja dimata kawan-kawan, nyatanya telah menjadi inspirasi bagi saya. Terlihat bagaimana perjuangan seorang Ayah yang pandai menjahit, yang rela menyita waktunya untuk sekedar menjaga barang-barang di workshop sehinggai tidak setiap malam dapat tidur dirumah dengan pelukan hangat anak istri, dan tidak pernah terlihat mengeluh ataupun lelah berjuang. Terlihat dari caranya menafkahi keluarga, caranya mencintai anak-anak yang terlahir dari rahim istrinya. A Obet adalah sosok seorang Ayah yang patut dibanggakan dan menjadi cerminan bagi kita semua. Sungguh suatu berkah dalam masa hidup saya dapat dipertemukan dengan sosok pahlawan keluarga seperti A Obet. Sebenarnya cukup singkat untuk mendefinisikan kehidupan orang-orang yang berkutat di dunia produksi setiap harinya. Membuat sketsa dan pola, cutting, lalu membuat sample untuk proofing sebelum memulai proses produksi tas secara masal. Cutting, setting desain, afdruct, setting desain lagi diatas meja rel dan papan built up, mencampur cat dengan panduan pantone, sablon, press sablon, lebur screen, jahit, qc, steam, packing, lalu qc tahap akhir sebelum akhirnya mengirim kaos atau hoodie pesanan klien. Ya…. Begitulah kesibukan orang-orang produksi setiap harinya, terkesan monoton memang. Tapi bagi saya dan seluruh tim yang menaruh segenggam harapan didunia produksi itu sendiri, layaknya kawan-kawan yang percaya bahwa produk atau pekerjaan yang kawan-kawan geluti akan membawa kehidupan yang lebih baik lagi dimasa yang akan datang. Bagi saya tidak pernah ada yang membosankan untuk hidup seperti ini, dunia produksi banyak menyimpan cerita yang tak terlupakan, yang mungkin akan saya ceritakan kembali dimasa yang akan datang kepada anak cucu saya (apabila diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi). Dan tulisan ini menjadi bukti nyata bahwa dunia produksi yang sebagian orang anggap monoton dan tidak menarik untuk diceritakan adalah salah menurut saya. Hidup ditengah dunia produksi sungguh sangat menyenangkan, dan karena semua hal yang bersangkutan dengan dunia produksi juga lah yang telah membakar hasrat saya pribadi untuk merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan akhirnya melahirkan sebuah cerita yang tidak penting. Tapi biarlah ini semua menjadi sejarah, menjadi catatan pribadi yang mungkin suatu hari nanti akan dibaca oleh keturunan saya ketika mereka merindukan manusia bodoh yang menulis dan mempublikasikan semua ini dalam format digital.

Sukasirna,
Bandung, 11 September 2011





Leave a Reply.