Picture
Sebuah kebohongan besar apabila kita bicara tentang dunia dengan anggapan bahwa keadaannya saat ini masih “baik-baik” saja. Bahkan terlalu bodoh untuk tidak peduli dengan apa yang sudah atau sedang terjadi. Kota yang penuh sesak dengan hegemoni pasar, perang tarif, hingga kekuasaan absolut yang memihak kepada sang “kreator dunia” dengan Tuhannya Yang Agung, Harta Yang Maha Esa. Disertai dengan penampakan sosok-sosok serakah yang kini sering bermunculan dimana-mana, gentayangan dan saling berlomba untuk mendapatkan “dunia” mereka masing-masing, bahkan mulai tidak peduli dengan lingkungan sosial di sekitarnya.

Aksi tikam, saling tusuk dari belakang pun sepertinya bukan lagi pemandangan yang jarang ditemui, disertai dengan berbagai alasan untuk ditembakan kedepan muka hakim di pengadilan kelak. Sekedar untuk bertahan hidup, memperjuangkan hak, sakit hati, sampai dengan memaksa untuk turut menikmati hak seorang ibu rumah tangga yang baru saja keluar dari ruang ATM dengan wajahnya yang berseri-seri, karena baru saja mendapat kiriman uang dari suaminya yang bekerja jauh di luar kota. Sungguh pemandangan yang “indah”, bukti nyata bahwa musyawarah bukanlah hal yang dikedepankan lagi. Bukti nyata bahwa aksi sekelompok pemuda beringas yang menjambret tas selendang ibu-ibu dan gadis remaja dalam sebuah film bukanlah fiksi belaka.

Hal yang paling memuakan adalah ketika kita berjalan di gang-gang sempit Kota Bandung, lalu melewati segerombol jagoan olol lého yang sedang asik bernyanyi sambil menggenggam botol minum keras, dengan seorang yang terlihat sangat lihai memainkan sebuah lagu yang berjudul Makhluk Tuhan Yang Paling Seksi dengan gitar kopongnya dimuka jalan. Jangan harap dapat melangkahkan kaki dengan mulus tanpa menyebutkan kata “punten” di depan segerombol pemuda yang menamakan dirinya sebagai Aliansi Pemuda Gang Beurit itu, dan bersiaplah menerima seruan dengan nada yang tinggi “punten atuh goblog!” Sekali lagi, mungkin itu adalah salah satu pemandangan yang “indah” disekitar kita. Aliansi Pemuda Gang Beurit itu tampaknya salah dalam memilih tempat untuk nongkrong dan berdansa sambil menyanyikan lagu-lagu yang dirilis oleh Republik Cinta Management. Dan sepertinya mereka tidak mengerti dengan nilai-nilai kearifan lokal yang Karuhun Sunda ajarkan, seperti Soméah Hadé Ka Sémah yang berarti bahwa Urang Sunda harus ramah pada tamu-tamunya. Ramah dalam arti menjamu, menjaga, memelihara, dan berupaya membahagiakan tamu mereka.

Di belahan dunia lain, tempat dimana saya saya lahir dan tumbuh besar dibawah kepemimpinan seorang Bapak yang arif dan terlihat tak pernah lelah berjuang untuk menafkahi keluarganya. Di Perumnas Sarijadi, terkadang melintas pemandangan yang sedikit memilukan. Dimana seorang anak kecil berjalan dengan tanggungannya yang terlihat begitu berat untuk dipikul, anak kecil itu menjajakan barang-barang dagangannya. Mulai dari alat-alat keperluan rumah tangga seperti coet jeung mutu, sampai makanan atau cemilan seperti gurilem dan kicimpring. Kali ini yang tergambar adalah bentuk perjuangan seorang anak kecil yang hebat, yang memikul beban berat untuk mencari nafkah bagi diri dan keluarganya. Perjuangan yang sungguh mengesankan dan begitu memilukan dimana ketika seorang anak kecil yang harusnya duduk di bangku sekolah ketika jam belajar dimulai, tetapi dia berada jauh dari tempat yang semestinya, dan dia harus memikul beban yang berat demi bertahan hidup.

Manusia tampaknya sudah mulai lupa akan lingkungan sekitar, atau bahkan secara disengaja melupakannya karena sibuk mencari “dunia” mereka masing-masing. Perang saudara dimana-mana, saling berebut lahan untuk ajang komersialisasi dan diakhiri dengan pertumpahan darah. Bahkan bagi sebagian keluarga, sekedar mencari sesuap nasi pun terasa sangat sulit untuk dilakukan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin papa. Dunia kini sudah tak tentu arah, karena Dunia Semakin Buas!

Sukasirna,
Bandung, 12 Januari 2012




Leave a Reply.